Jatuhnya Pesawat Sukhoi dari Persepsi Medis (I)
Sukhoi Super Jet 100 (Foto: Ist)
PENYEBAB jatuhnya
pesawat Sukhoi Super Jet 100 hingga kini masih dalam pemeriksaan lanjut.
Mengingat umumnya penyebab kecelakaan pesawat tidak berdiri sendiri,
bukan saja kemungkinan teknis yang perlu dikupas lebih lanjut, tapi juga
kemungkinan dari segi medis.
Dalam rilis yang diterima
Okezone, Selasa (15/5/2012),
seorang Doktor Biomedik, Flight Surgeon dan Dosen pada Dokter Spesialis
Kedokteran Penerbangan FKUI, Dr dr Wawan Mulyawan, SpBS, FS, menjelaskan
keterkaitan faktor medis dalam peristiwa jatuhnya pesawat Sukhoi Super
Jet 100 pada Rabu, 16 Mei 2012.
“Lebih seringnya, kecelakaan bukanlah kesalahan manusia
(Man) semata, tetapi multifaktorial. Bisa juga karena kerusakan pesawat
(Machine) dan kekurangtersediaan logistik pemeliharaan pesawat
(Material) serta anggaran yang terbatas
(Money), dan lemahnya sistem kerja
(Method) serta manajemen
(Management). Umumnya penyebab kecelakaan pesawat tidak berdiri sendiri,” tutur Wawan dalam rilisnya.
Namun demikian, jika misalnya
human error yang dominan dari
penemuan penyelidikan, maka penyebabnya bisa karena pilot dan awak kabin
lainnya, atau pihak di darat (ATC, dan lain-lain). Jika pilot yang
dianggap dominan sebagai penyebabnya, bisa karena faktor
kekurangsehatannya
(Medical factors) atau karena ketidaksigapannya dalam membuat keputusan
(Psychological factors). Kedua hal ini tentu saja tidak selalu bisa dibuktikan dalam penyelidikan, jika bukti-bukti dari penumpang yang hidup
(survivor) atau yang melakukan komunikasi di darat (ATC) serta bukti “sakti” kotak hitam
(black box) yang berisi perekam data penerbangan
(flight data recorder/FDR) dan perekam suara kokpit
(cockpit voice recorder/CVR) dalam pesawat terbang tidak
clear.
“Salah satu penyebab medis yang bisa terjadi adalah disorientasi spasial
(spatial disorientation).
Sebenarnya ini bukan karena penerbang sungguh-sungguh tidak sehat,
tetapi karena kesalahan persepsi penerbang dalam menerjemahkan sensasi
penglihatan matanya
(visual) akibat “goyangan” pada organ keseimbangan tubuh di telinga dalam (otolit) dan sensasi gerak dan jarak
(proprioceptive sensation) dan berakhir pada keputusan yang diambil oleh otak
(brain) akibat salah persepsi itu,” paparnya.
Berikut penjabaran lengkap Wawan mengenai disorientasi spasial,
kemungkinan penyebab jatuhnya Sukhoi Super jet 100 dari segi medis:
- Penglihatan mata (visual) bisa menipu
Kesalahan persepsi mata seharusnya tidak terjadi jika pilot terbang menggunakan teknik terbang
instrument flight
(terbang instrumen) dimana seluruh alat navigasi dan avionik pesawat
yang canggih digunakan, dan juga pilot percaya akan ketepatan
instrumen-instrumen tersebut. Namun, adakalanya karena penerbang tidak
menggunakan instrumen yang memadai dalam menerbangkan pesawat, baik
karena sengaja demikian atau karena rusaknya alat-alat itu, maka ia
menggunakan metode terbang yang disebut terbang dengan penglihatan mata
telanjang (
visual flight).
Joy flight (terbang demo atau hiburan/tamasya) dengan pesawat kecil yang minim instrumen biasanya menggunakan cara ini. Demikian juga
training flight
dalam pendidikan pilot (militer mau pun sipil) ada latihan yang sengaja
mematikan alat-alat navigasi tertentu untuk melatih mereka menghadapi
keadaan darurat.
“Jika penyebabnya karena adanya kelalaian pilot,
spatial disorientation
terjadi karena pilot terlalu percaya diri terbang tanpa instrumen atau
pilot dan co-pilot tidak memantau dengan baik panel-panel intrumen
navigasi, bahkan tidak memantau dalam hitungan detik. Seperti pernah
dikutip di beberapa media beberapa waktu lalu saat terjadi kecelakaan
pesawat Xian MA60 di Bandar Udara Utarom, Kabupaten Kaimana, pakar
penerbangan dari
International Civil Aviation Organization
(ICAO), Capt. Rendy Sasmita Adji Wibowo menyebutkan, bila sudut belok
pesawat lebih dari 30 derajat, maka hidung pesawat akan menukik. Jika
ini tidak disadari segera oleh pilot atau co-pilot, disorientasi selama
10 detik saja akan sangat berakibat fatal,” paparnya.
Visual flight inilah yang bisa menipu mata pilot. Karena mata
selalu mempersepsikan pengalaman-pengalaman sehari-hari penglihatannya
terhadap keadaan vertikal dan horisontal, yang di angkasa akan
dimanifestasikan dalam penglihatan horison. Horison yang dilihat mata
pada saat terbang datar akan di”
locked” oleh otak sebagai
horison standar, yang ketika manuver terbang ke kiri dan ke kanan
(bang/turn) yang artinya membelok, atau menanjak dan menurun (
climb dan
descend)
dapat tidak dikoreksi tanpa disadari oleh mata maupun otak. Mengapa?
Karena organ keseimbangan kita di telinga dalam yang dinamakan
kanalis semi sirkularis
yang berisi otolit akan bergoyang saat bergeser, terutama ke kiri dan
ke kanan, yang akhirnya memberi sensasi standar horison yang berubah
dan menciptakan ilusi yang salah.
- Otolit menyebabkan perubahan horison
Organ di telinga dalam yang dinamakan otolit, terdiri dari
utrikulus dan
sakulus, yang terdapat di kedua telinga kiri dan kanan. Kedua organ ini selalu dalam posisi tegak lurus satu sama lain (
right angle).
Utrikulus akan mampu mendeteksi perubahan yang terjadi pada saat ada
akselerasi (pertambahan kecepatan) yang linier / horisontal, sedangkan
sakulus akan medeteksi perubahan gravitasi dalam bidang vertikal.
“Sebenarnya semuanya akan baik baik saja dan pendeteksian oleh kedua
organ otolit itu secara normal di darat sangat sempurna. Namun ketika
kita terbang, akselerasi linier sembari berbelok akan membuat gaya
gravitasi mempengaruhi baik utrikulus maupun sakulus sekaligus.
Karenanya bagi pilot yang duduk di kursinya, bisa tidak menyadari bahwa
pesawat telah turun sedikit atau naik sedikit sementara sensasi
penglihatannya masih di horison lurus. Keadaan ini jika dengan
instrumen flight,
pilot akan lebih percaya pada panel-panel navigasi dan avionik yang ada
di depan matanya dari pada horison yang telah “menipu”nya, dan segera
mengkoreksi kesalahan matanya. Namun pada
visual flight, tidak
ada koreksi atas kesalahan akibat goyangan pada utrikulus dan sakulus
ini, sehingga makin lama pesawat akan makin menukik atau menanjak,
walaupun horison yang dilihat dan sensasi yang dirasakan pilot adalah
terbang datas/linier,” katanya.
Kejadian ini sering terjadi pada saat akan mendarat dengan cuaca buruk apalagi pada terbang malam.
“Kecelakaan pesawat Xian MA60 yang dioperasikan oleh Merpati Nusantara
Airlines pada Sabtu 7 Mei 2011 lalu diduga karena faktor kesalahan
persepsi mata pilot terhadap horison ini. Pada kondisi lain, dimana
kontur darat, misalnya di depan pesawat ada gunung yang tingginya tidak
terlalu jauh dari ketinggian pesawat dan tertutup awan, tentu kesalahan
persepsi ini akan sangat berbahaya, dan pesawat dapat saja menabrak
gunung,” ungkapnya.
(ind)
http://health.okezone.com/read/2012/05/15/482/629906/jatuhnya-pesawat-sukhoi-dari-persepsi-medis-i